Kelembagaan Kopri
Pemateri : sahabat Zeni Faridah, (Jum’at :
23 Oktober 2015. Jam : 10:00 – 10:30” tempat : PCNU di Mojokerto)
ü Pendahuluan
Citra bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara
perempuan lemah dan emosional merupakan konstruksi budaya. Citra tersebut
bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki dan perempuan terletak pada biologisnya,
itulah yang disebut kodrat.
Konstruksi budaya di atas seringkali disalahartikan sebagai
kodrat sehingga menimbulkan rantai ketidakadilan yang cenderung menindas baik
laki-laki dan khususnya perempuan. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung
selama berabad-abad, setua peradaban manusia.
PMII
memiliki komitmen terhadap keadilan gender, dan diwujudkan melalui pelembagaan
gerakan perempuan bernama KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati berbagai
dinamika. Sempat dibekukan kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003)
direkomendasikan untuk diaktifkan kembali.
ü KELEMBAGAAN
KOPRI
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu
diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri PMII dirasa belum
banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, padahal jumlah
anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII mensyaratkan
keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan PMII diberi kuota
minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
1.
Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga
(ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 20 dinyatakan, ayat (1)
Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3
keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus
menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota
perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21 ayat (1) Pemberdayaan Perempuan PMII
diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI (Korp PMII Putri),
dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut diatas selanjutnya diataur dalam
Peraturan Organisasi (PO).
Adapun wadah pemberdayaan anggota putri
PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus bernama Korp PMII Putri
(KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX tentang Wadah Perempuan. Dalam Pasal 22, ayat
(1): Wadah perempuan bernama KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang
didirikan oleh kader-kader Putri PMII melalui Kelompok Kerja sebagai keputusan
Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI didirikan pada 29 September 2003 di Asrama
Haji Pondok Gede Jakarta dan merupakan kelanjutan sejarah dari KOPRI yang
didirikan pada 26 November 1967; dan ayat (4) KOPRI bersifat semi otonom dalam
hubungannya dengan PMII.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur
PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI dan PC KOPRI.
2.
Visi dan Misi KOPRI
Visi KOPRI adalah Terciptanya
masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.
Misi KOPRI adalah
Mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan
perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.
3. Sejarah
Kopri
Perjalanan
sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami
proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada
tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen
Keputriandengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan
Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976.
Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri
mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting
beda suara pada kongres VII di Medan.
Merasa
pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di
Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu
kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres
XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003
sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka, terbentuklah
POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29
September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada
kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka
terjadi voting atas status KOPRI dengan suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah
Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih
dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.
4.
Ketua Umum KOPRI dari Masa ke Masa
Berikut ini daftar nama-nama Ketua Umum
PB KOPRI sepanjang masa (1967-sekarang).
1.
Mahmudah Nahrowi 1967-1968
2.
Tien Hartini 1968-1970
3.
Ismi Maryam BA 1970
4.
Zazilah Rahman BA 1971
5.
Siti Fatimah Bsc 1972
6.
Adiba Hamid 1973
7.
Wus'ah Suralaga 1973-1977
8.
Choirunnisa Yafishsham 1977
9.
Fadilah Suralaga 1977-1981
10.
Ida Farida 1981
11.
Lilis Nurul Husna 1981-1984
12.
Iis Kholila 1985-1988
13.
Iriani Suaida 1988
14.
Dra. Khofifah Indar parawansa 1988-1991
15.
Dra. Ulha Soraya 1991
16.
Jauharoh Haddad 1991-1994
17.
Diana Mutiah 1994-1997
18.
Luluk Nur Hamidah 1997-2000
19.
Umi Wahyuni 2000-2003
20.
Efri Nasution 2003
21.
Winarti 2003-2005
22.
Ai’ Maryati Shalihah 2005-2007
23.
Eem Marzu Hiz 2008-2010
ü STRATEGI
PENGEMBANGAN KOPRI
Korp PMII Putri, sebagai wadah kader
perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meyakini perannya sebagai
khalifatullah fil ardl dan keberadaannya akan menjadi rahmat bagi segenap alam.
Karenanya keberadaan KOPRI harus bisa menjadi sesuatu yang bisa dirasakan
kemanfaatannya tidak hanya oleh kader-kader PMII baik laki-laki maupun
perempuan tetapi juga bagi seluruh Umat yang ada di bumi ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Relasi PMII dan KOPRI sebenarnya tidak
berbenturan, hanya secara gerakan, perempuan mempunyai wilayah sendiri. Hanya
koordinasi yang sifatnya tidak begitu prinsip. Yang penting selama tidak
bertentang ini harus tetap didukung. KOPRI menempatkan teori gender hanya
sebagai analisa saja agar kita tidak terbelenggu dengan budaya patriarkal
sehingga perempuan bisa menentukan gerakannya sesuai dengan kebutuhan perempuan
tersebut. Wacana gender sebagai alat saja bukan sebagai tujuan. Dan wacana
gender disesuaikan dengan wacana keislaman dan kearifan lokal.
Prosentase perempuan di setiap Mapaba
PMII ada 60%. Cukup banyak namun dalam pengkaderan kita belum mumpuni
mengggarapnya. Paling banter hanya bisa survive 5 kader di setiap
cabang. Karena kita akhir-akhir ini kehilangan sosok-sosok kepemipinan
perempuan di tingkat cabang, kota, dan kabupaten se-Jawa Tengah yang bisa
berkomunikasi dengan PB dan basis.
Tugas utama KOPRI PMII adalah bagaimana
mensinergikan kader perempuan PMII yang cukup banyak dengan wadah yang
berbeda-beda. Yakni, sesuai dengan local genius yang berbeda di masing-masing
cabang. Juga mensinergikan antara PB dan pengurus di bawahnya (PKC, PC, PK dan
PR).
ü GENDER
1.
Pengertian Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping
of words into masculine, feminine, and neuter, according as they are regarded
as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang
mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat
dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan
kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata
seks (jenis kelamin).
Kata gender jika
ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa
Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris
berarti “jenis kelamin” (John M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983, hlm. 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku (Victoria
Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat
(Helen
Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I, New York: Green Wood
Press,, h.153.).
Karena istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam
blantika perbendaharaan kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai
dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi
dengan bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka
kata tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan
dianggap bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian
telah menggunakan kata gender menjadi gender.
Kata gender ini
jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk
nomina (noun) yang menunjuk
kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim, Advance
English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press,
1991, h. 384), atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans (Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd., 1980, h. 141.
Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy, Beirūt: Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn, 1985, h. 383). Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang
gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan
bahasa. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah
perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi sangat lazim
digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender
secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati
perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan gender
sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng
pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita
adalah feminim atau maskulin (Lihat Julia Cleves Mosse, Half the World, Half a Chance:
an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati
dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius
memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki-laki
dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka
validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial (Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi
dari Proses Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id.).
Ivan Illich
mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat,
tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan
perempuan dalam budaya sosial. Illich dianggap
sebagai orang yang pertama menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya
untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas
pada penggunaan jenis kelamin semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender
dalam Persfektif Islam: Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan
Gender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme:
Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996),
h. 23. Ivan Illich menulis buku Gender, diterjemahkan oleh Omi Intan
Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Zaitunah Subhan
mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang
dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki
dan perempuan karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal
Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128).
Pengertian yang
lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa
gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi
perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa
sosial (Lihat
Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina,
Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998, h. 99).
Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam
pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh
sosial budaya masyarakat (social
contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak
menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena
pertimbangan yang sifatnya biologis.
Hilary M. Lips
dalam bukunya yang terkenal Sex &
Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis,
seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat prihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender
(What a given society defines as masculine or feminim is a
componen of gender) (Linda L. Lindsey, Gender Roles a
Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h. 2.)
H. T. Wilson dalam
Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu
dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam
membedakan laki-laki dan perempuan (H. T. Wilson, Sex and Gender, Making
Cultural Sense or Civilization, Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J.
Brill, 1989, h. 2.). Agak sejalan dengan pendapat yang
dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep
analisa yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an anality concept whose meanings we work to
elucidate, and subject matter we proceed to study as we try to define it) (Elaine
Showalter (ed), Speaking of Gender, New York & London: Routledge,
1989, h. 3).
Kata gender belum masuk dalam
perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah
lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan
kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender
biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tetap
bagi laki-laki dan perempuan (Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992,
h. 3).
Dari berbagai
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini
adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya
sesuatu yang bersifat kodrati.
Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender -seperti yang
dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia-, adalah
"konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat".
Ada
beberapa definisi gender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian
yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci:
laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
2.
Gender dalam Islam
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah Nabi yang
merupakan sumber utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang
menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai
tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan
sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah
mentoleri adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia.
Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam
Al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi (ditulis
al-Qur’annya dalam buku perempuan sebagai kepala rumah tangga hal 41) bahwa
Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk
yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan
mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran
tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah
SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang
membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Islam mengajarkan
umatnya untuk saling menghargai dan menghormati. Menurut Lily Zakiyah Munir
(Kompas, 20 Oktober 2005) "Ada sekitar 30 ayat Al Quran yang mengacu pada
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan hak perempuan. Lebih lanjut Lily
Zakiyah Munir juga menyebutkan bahwa Al Quran juga melarang paling tidak enam
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lumrah terjadi di masyarakat Arab pada
saat itu. (Asrizal Lutfi, 2008).
Adapun dalil-dalil dalam al-Qur’an yang mengatur tentang
kesetaraan gender adalah:
A. Tentang hakikat
penciptaan lelaki dan perempuan
Surat Ar-Rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat
ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia
berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan
tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir
dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal.
Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara
lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya
superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
B. Tentang kedudukan dan
kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-Nisa ayat 124, surat
An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat
tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan
maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan
beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara
lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun
memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan
yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan
perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah
keimanan dan ketaqwaannya.
C. Prinsip Kesetaraan
Gender dalam Al-Qur’an
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran
Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000) ada beberapa hal yang
menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
a.
Perempuan dan Laki-laki Sama-sama
Sebagai Hamba
Menurut Q.S. al-Zariyat (51:56), (ditulis al-Qur’annya
dalam buku argumen kesetaraan gender hal 248) Dalam kapasitas sebagai hamba
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi
dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa
diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk
mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam
Q.S. al-Hujurat (49:13).
b.
Perempuan dan Laki-laki sebagai
Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah
fi al’ard) ditegaskan dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah
(2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada
salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki
mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan
tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
c.
Perempuan dan Laki-laki Menerima
Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan
menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172)
yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak
awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis
kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang
sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam
tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
d.
Adam dan Hawa Terlibat secara
Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni
cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu
menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti
untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat
dalam beberapa kasus berikut:
1)
Keduanya
diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35).
2) Keduanya mendapat
kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
3) Sama-sama memohon
ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.al A’raf/7:23)
4) Setelah di bumi
keduanya mengembangkanketurunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan
(Q.S.al Baqarah/2:187)
e. Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan
antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat,
yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya
mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan
bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier
profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.
Karena
adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh
pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam
masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara
turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan Gender tersebut.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui
nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum
lelaki dan melemahkan kaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan
munculnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah :
a) Keyakinan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap
sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki.
karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya
untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
b) Keyakinan bahwa
perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga,
sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih
jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka
Bias
gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula
dengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah,
Pengertian Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir),
Penetapan Arti Huruf ‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam
Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat,
serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab-kitab Fikih. (Nasaruddin
Umar, 2002).
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan
perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang
menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena Qur’an selalu
menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90); keamanan dan ketentraman (Q.S.
an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali
Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al-syari’ah
atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus
ditinjau kembali.
Sumber :
Materi mapaba oleh sahabat Zeni Faridah/2015/10/23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar